Hark! It’s A Crawling Tar-tar dan Gambar Masjid Hancur

fan page hark
Gambar masjid hancur yang menjadi cover picture dari fan page Hark! It’s A Crawling Tar-tar

Oleh: Aik

SUBCHAOSZINE–Iya, saya tahu kalau vokalis Hark ini agak sensi dengan istilah-istilah yang berbau Islam, khususnya yang berbau.. ehm.. “fundamentalis”. Kentara sekali kalau baca lirik-lirik lagunya seperti “Runtuhnya Surau Mereka” atau “Kirim Balik Armada itu Ke Gujarat”.

Tapi menurut saya, menggeneralisasi dengan mengungkapkan kebencian dengan cara memakai semiotika gambar masjid yang sedang hancur/runtuh itu sangat mengganggu. Kebencian yang mereka klaim ditujukan kepada ‘fasis’ seharusnya juga mereka lakukan secara proporsional tanpa harus memakai penistaan kepada simbol-simbol yang sifatnya general (simbol Islam secara umum). Seharusnya lebih adil kalau mereka to the point saja, siapa orang atau ormas yang mereka benci, lalu ungkapkan kebencian mereka dengan alasan-alasan yang logis. Bukan membenci sebagian kelompok Islam kemudian menistakan rumah Allah (masjid) yang bagi kami umat muslim adalah tempat yang mulia dan suci. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada hubungannya antara masjid dengan kekerasan yang mereka (Hark) benci.

Adil kah jika saya membenci seseorang kemudian saya injak foto keluarganya yang didalamnya ada ayah, ibu, adik, kakak, yang tidak punya masalah dengan saya? Saya pikir vokalis Hark tidak sebodoh dan segegabah itu sampai melakukan tindakan yang emosional/reaksioner seperti itu.*[]

Iman atau Kafir? (Membantah Argumentasi Bodoh ala Liberal )

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat kebajikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Al-Maidah, 69-

Underground Tauhid—sudah hafal, ayat di atas seringkali dijadikan bulan-bulanan. Menjadi bulan-bulanan orang-orang Liberal untuk turut “memasukkan” golongan non-muslim ke dalam Surga, selama, mereka beramal shalih, mereka berbuat kebajikan.

Kecil saya dulu menjadi sangat sederhana. Saya bertanya-tanya, jika orang Kristen menyumbang atau membangun masjid dan kemudian dimanfaatkan oleh umat Muslim, masak dia nanti tidak masuk Surga?

“Mana keadilan Tuhan?”

Coba bayangkan, usia SD saya merasa galau dan “mempertanyakan” keadilan Tuhan. Ini gila! Gila dalam arti yang sebenarnya.

Kelak ketika saya besar, ketika sudah mengerti bahwa memberikan kado buku agama pada teman perempuan saya adalah taktik busuk menyatakan cinta (saat SMA), barulah saya mendapat jawaban atas kegalauan lama itu. Menariknya, jika waktu SD saya bertanya dengan pertanyaan kelas SMA, maka ketika SMA saya mendapatkan jawaban rasa SD.

Ternyata analogi jawabannya sederhana: sekencang-kencangnya sprint seseorang, jika kemudian ia ‘nyolonong’ dalam perlombaan lari, dan menang, ia tidak sah menjadi juara. Mengapa? Sebab ia bukan peserta, ia tidak mendaftar sebelumnya dan karenanya syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tidak ada.

Anda tentu sudah menangkap maksud saya. Ya, Surga hanya berhak diberikan kepada para “peserta”. Hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang telah memenuhi kriteria syarat: Kalimat Syahadat.

“Barangsiapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad)

***

Tetapi adalah runyam, jika segala persoalan yang sederhana –seperti kasus di atas misalnya- dihadapkan dengan sikap kritis yang membuta, suka mencari-cari gara-gara. Saya termasuk orang yang tak percaya bahwa sikap kritis selalu berarti usaha pengungkapan kebenaran, sebab sering, kritis justru dijadikan alat untuk menyatakan kebencian dan pembangkangan, atau sebagai cara untuk menunjukkan bahwa ia tampak lebih berpengetahuan, dan kemudian untuk merendahkan. Karenanya di sini saya tandaskan bahwa penerimaan-penolakan, erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan. Tak selalu sesuai dengan apa yang seseorang ketahui tentang kebenaran.

Iblis mengerti mana iman mana kafir, mucikari gang Dolly tahu apa yang dilakukannya benar atau salah, maling sandal jamaah tarawih tak perlu digurui mana baik mana buruk, pejabat koruptor tak perlu lagi dikhotbahi mana mulia mana brengsek.

Teman-teman di kelas saya juga tergeleng-geleng mengapa Karen Armstrong, orientalis yang cukup “lurus” berkomentar tentang Islam, tidak juga memeluk agama Islam. Jauh sebelum Karen Armstrong menuliskan The History of God dan berusaha adil dalam Holly War­-nya, kisah lama yang sering membuat saya trenyuh adalah kafirnya seorang paman bernama Abu Thalib, padahal beliau merupakan salah satu zirah bagi dakwah Nabi Muhammad Saw., hingga membuat Rasulullah Saw. mengucur air mata saat wafatnya.

Kita tidak menafikan, orang-orang Jahiliyah bukan berarti manusia dungu yang tak berilmu. Kitapun tidak memungkiri bahwa saat ini, menjamur kaum intelektual yang berjubel di kepalanya ilmu.

Tetapi ilmu, apa gunanya tanpa iman?

Saya berani bertaruh, banyak di antara kita –aktivispun-, tertinggal jauh pengetahuan Islam kita disandingkan dengan orientalis. Hanya saja, seperti yang dipaparkan oleh Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Dengan pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekularis maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial. Kajian-kajian dalam syari’at tidak berkaitan dengan akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlak. Demikian pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an.”

Lain hal, Muslim manapun tahu Allah Maha-Benar, ayat-ayat-Nya benar, aturan-aturan-Nya benar, tetapi memang, tidak semua orang berselera dengan kebenaran. Ini soal mentalitas dan kejiwaan. Sehingga yang ada tinggal pembenaran untuk bersikap ingkar. Maka hukum tandingan(thaghut)pun segera digelar. Asy-Syahid Sayyid Quthb menuturkan, “Hanya sedikit manusia dalam masa tertentu yang mengingkari prinsip ketuhanan dan tidak mengakui eksistensi Allah, akan tetapi kebanyakan mereka yang mengakui, keliru dalam pengetahuan mereka mengenai hakikat Tuhan yang Haq. Bahkan mereka juga menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain. Ada kalanya, mereka menyekutukan-Nya dalam keyakinan dan peribadatan, adakalanya dalam hal kedaulatan dan ketundukan.”

Sementara itu di kalangan aktivis dakwah, barangkali yang memiriskan adalah yang –na’udzubillah-berilmu namun sukar berendah-hati. Ada yang ringan melesatkan nasehat namun berat dinasehati. Ada yang tak mampu lagi membedakan antara bernasehat dengan memperolok/menyakiti. Ada juga yang lebih gemar beradu nalar tinimbang memperbanyak kalimat istighfar. Ada yang berapi-api membicarakan prestasi jamaahnya yang, ironisnya, parau ketika disuruh mengingat prestasi amalnya sendiri. Amal jamaahnya baik, tetapi amal pribadinya buruk. Padahal Allah menghisab amal individu kita, bukan amal jamaah dakwah kita.

Akhirnya orientasi seorang muslim harus diperjelas bahwa bukan saja untuk memupuk dan menumpuk intelektualitas pengetahuan, tetapi juga untuk memperbanyak amal kebajikan. Adalah Ushairim bin Abdil Asyhal yang mati syahid di Perang Uhud, dinyatakan Nabi masuk Surga padahal ia sama sekali belum pernah shalat dan puasa, belum pula mengenal berdebatan aqidah salaf dan khalaf. Kemudian sampai saat inipun mata saya masih terasa sembab setiap mengingat tetangga saya, seorang mantan gembong preman, yang tak banyak berpengetahuan tentang Islam, namun ia tersenyum saat sebutir peluru menembus dadanya, mengantarkan pada syahidnya –insya Allah-. He used to be called,’ The Smiling Bomber’.

Maka satu hal penting yang perlu kita tekankan, bahwa tahu kebenaran tidak menjamin seseorang lantas menjadi benar -jika dalam dirinya tidak memiliki kesadaran iman yang membuahkan mentalitas ketaatan-. Semoga Ramadhan ini menjadikan kita senantiasa memiliki kesadaran, sadar untuk menjadi manusia pembelajar. WaLlahu a’lam. []

_______________________

Sekadar keterangan:

QS. Al-Baqarah: 69, turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Farisi r.a berkenaan nasib mendiang mantan para sahabatnya yang masih beragama Nasrani. Bahwa kaum Nasrani yang meninggal sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw., selamat selama mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir serta beramal shalih. Namun, kata Ibnu Katsir, setelah diutus Nabi Muhammad Saw. selaku pembawa syari’at kepada semua manusia dan jin, maka suatu amalan tidak dinilai sebagai amal shalih, hingga amal tersebut selaras dengan syari’at beliau Saw..

 

Oleh : Ahsan Hakim

Toleransi dan Kerukunan

SUBCHAOSZINE–“Umat Islam di wilayah Jabodetabek tidak toleran!” Itu salah satu kesimpulan yang dimunculkan sebuah lembaga survei di Jakarta. Lembaga yang mengusung jargon “Institute for Democracy and Peace”  ini – dalam buku terbitannya yang berjudul Wajah Para ‘Pembela’ Islam, menyimpulkan bahwa kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.

Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei kelompok ini di Jabotabek, menunjukkan ada 84,13 persen masyarakat tidak menyukai pernikahan beda agama. Lalu disimpulkan: “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.”

Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, di kalangan pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi.
Terhadap fenomena ini, disimpulkan: “Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.”

Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya Ahmadiyah dibubarkan oleh pemerintah.

Terhadap data tersebut, ditariklah sebuah kesimpulan: “Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh  sama maknanya dengan sikap intoleran.”

Orang yang dikategorikan tidak toleran, lalu diberi cap radikal, yang direkomendasikan untuk dilakukan proses “deradikalisasi” terhadap mereka. . “Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.”

Toleransi: fakta dan opini
Ingat kasus Dr. Marwa El-Sherbini? Muslimah Jerman asal Mesir ini, pada 1 Juli 2009, dibunuh dengan sangat sadis oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa – saat itu – sedang hamil 3 bulan. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang. Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W. yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir itu. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

Entah mengapa, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional di Indonesia, juga di dunia internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual oleh media internasional.  Juga, tidak terdengar gegap gempita tanggapan pejabat Tinggi Indonesia yang mengecam keras peristiwa tersebut.

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita  http://www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.

Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”

Benarkah kerukunan umat beragama hancur di Indonesia setelah kasus Ciketing tersebut? Itu adalah citra yang sengaja dibentuk oleh sebagian kalangan untuk memberikan gambaran yang tidak proporsional tentang kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia.  Padahal, kasus Ciketing adalah satu kasus yang muncul dari kondisi kerukunan umat beragama yang secara umum berjalan dengan baik.

Situs kompas.com,  Sabtu, 25 September 2010, menyiarkan satu artikel berjudul “Robohnya Kerukunan Beragama”. Ditulis dalam artikel tersebut:  “Penganiayaan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Asia Lumban Toruan, tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia. Negara yang dibangun di atas fondasi perbedaan-mengambil bentuk kalimat klasik Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”-ternyata begitu rapuh. Perbedaan tidak lagi menjadi perekat persatuan, tetapi penyebab gesekan sosial di masyarakat. Inilah masalah yang dihadapi Indonesia kekinian.

Itulah sejumlah contoh penggambaran yang tidak proporsional terhadap gambaran kehiduan beragama di Indonesia. Satu kasus diangkat untuk kemudian dipotret secara khusus, menutupi gambaran kerukunan agama yang sebenarnya. Opini yang sengaja hendak dicipta adalah bahwa “Kerukunan umat Beragama di Indonesia sudah roboh, sudah hancur; dan bahwa kaum Muslim sebagai mayoritas tidak punya rasa toleransi terhadap kaum minoritas.”

Benarkah demikian? Tentu saja opini harus didudukkan sebagai opini. Opini adalah upaya pembentukan citra melalui penampilan sebagian fakta. Tidak mungkin seluruh fakta dan dimensinya ditampilkan di media massa. Padahal, antara opini dan fakta bisa sangat berbeda. Kekuatan media sangat berperan dalam pembentukan opini. Berikut ini sebuah contoh, bagaimana kontrasnya perbedaan antara fakta dan opini.

Di era 1990-an, dunia dihebohkan oleh suatu opini adanya Islamisasi di Timor Timur yang ketika itu sangat rajin diangkat oleh Uskup Belo ke luar negeri. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof.  Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).

Tetap cantik
Kasus-kasus konflik yang terjadi di Indonesia, baik antar atau intern umat beragama, seyogyanya tetap dilihat sebagai kasus. Kasus-kasus seperti itu terjadi di mana-mana; di negara-negara Barat, di dunia Islam, maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Kasus-kasus itu memang mencoreng wajah kerukunan umat beragama, tetapi kasus-kasus itu sampai saat ini tidak menghancurkan gambar besar kerukunan umat beragama itu sendiri. Sehari-hari masing-masing umat beragama di Indonesia, secara umum, masih bebas menjalankan agamanya masing-masing. Bahkan,  saat terjadi konflik yang hebat antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku, konflik itu tidak menjalar di wilayah-wilayah Indonesia lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki daya resistensi yang tinggi untuk memelihara kerukunan umat beragama.

Kaum Muslim di Indonesia terbiasa melihat orang-orang non-Muslim menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kenegaraan – sesuatu yang tidak dinikmati kaum Muslim di AS atau banyak Negara Eropa. Kaum Muslim bisa melihat semarak Natal yang luar biasa di media massa  pusat-pusat perbelanjaan. Di tengah-tengah isu robohnya kerukunan beragama, kaum non-Muslim di Indonesia juga bebas memiliki tanah seluas-luasnya di Jabodetabek, tanpa ada diskriminasi.

Walhasil, secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetap cantik. Kasus-kasus yang muncul bisa diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik. Pandanglah wajah yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya memandangi dan membesar-besarkan jerawat yang muncul. Tentu saja, jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati, bisa menimbulkan infeksi yang dapat merusak wajah cantik secara keseluruhan. Upaya sejumlah untuk menonjol-nonjolkan kasus dengan menutup wajah kerukunan umat beragama yang harmonis, justru bisa menjadi sumber  masalah kerukunan umat beragama yang baru.

Dalam soal opini, umat Islam diperintahkan untuk berhati-hati dalam menerima informasi, khususnya yang berasal dari orang-orang fasik.     “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik yang membawa berita, maka lakukanlah penelitian (tabayyun); agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengatahui (fakta yang sebenarnya), sehingga jadilah kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al Hujurat:6).

Kontribusi : Bang Adian

Menjawab Tuduhan Bahwa Islam “Tidak Toleran”

SUBCHAOSZINE–Sejak Perang Dingin berakhir, banyak kalangan di Barat yang berperilaku seperti yang disarankan Samuel Huntington: agar mewaspadai Islam!  Sebab, kata Huntington, dalam buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menaklukkan Barat. (Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice). (Huntington, The Clash of Civilization …  1996: 209-210.

Islam dan umat Islam kemudian menjadi objek studi yang sangat menjanjikan. Berbagai LSM yang mengamat-amati Islam bermunculan di Indonesia. Isu-isu yang ‘laku dijual’ adalah seputar masalah Pluralisme, kebebasan beragama, multikulturalisme, kesetaraan gender, HAM, dan sebagainya. Istilah-istilah ini sebelumnya tidak dikenal oleh umat Islam. Tapi, banyak pihak yang kemudian menjadikan paham-paham itu sebagai tolok ukur kebenaran dan standar penilaian kebaikan. Baik tidaknya seorang Muslim diukur dengan istilah “radikal”, “eksklusif”, “inklusif”, “pluralis”, “HAM” dan sebagainya.

Istilah-istilah baru itu kemudian menggusur istilah-istilah baku dalam Islam, seperti “iman”, “Islam”, “sholeh”, “taqwa”, “ihsan”, “murtad”, “musyrik”, dan sebagainya. Artinya, seorang muslim akan dikenai  stigma negatif jika sudah kena label “radikal”, “eksklusif”, “anti-pluralisme”, “anti-multikulturalisme” dan sebagainya. Baik-buruknya seseorang tidak lagi diukur dengan kategori: iman-kufur, tauhid-syirik, adil-fasiq, halal-haram, dan sebagainya.

Belum lama, terbit sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata ‘Pengantar Ahli’ oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A., guru besar UIN Malang.  Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah “mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hal. xiv).

Padahal, jika dibaca dengan serius, isi buku ini jelas-jelas mendukung liberalisasi pendidikan Islam. Disebutkan, bahwa diskursus pluralisme agama di Indonesia telah berkembang pesat. “Salah satu pertandanya adalah terbit buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2004). Buku yang ditulis 8 tokoh pembela pluralisme Islam di Indonesia ini adalah Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF, Zuhairi Misrawi, dan Mun’im A. Sirry – telah memberikan terobosan fundamental  terkait dengan masalah pluralisme dari sudut pemikiran keagamaan, karena mereka telah berhasil memberikan argumen teologis bagaimana pandangan Islam terhadap agama-agama lain, termasuk dalam persoalan ibadah praktis (fikh), mulai soal doa sampai pernikahan antaragama – dan sejak ini pula, argument Islam untuk pernikahan antaragama menjadi mapan, dan telah menghasilkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam.” (hal. 124).

Seperti pernah kita ungkap dalam beberapa  Catatan, buku Fiqih Lintas Agama  terbitan Paramadina itu memang mempromosikan pernikahan beda agama dan memmbongkar hukum Islam tentang keharaman pernikahan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”  (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hal. 164).

Untuk membongkar hukum Islam, secara sistematis, buku ini mengawali uraiannya dengan melecehkan Imam Syafiirahimahullah:  “Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Ibid., hal. 5).

Jika Imam Syafii yang agung dan sangat diakui keilmuannya oleh para ulama Islam sedunia dilecehkan dan direndahkan martabatnya semacam itu, tentu kita patut bertanya, sehebat apakah manusia-manusia yang melecehkannya ini? Adakah karya-karya ilmiah hebat yang telah mereka hasilkan dan diakui oleh para ulama dan cendekiawan Muslim sedunia?

Entah mengapa saat ini sejumlah pihak mengkaitkan pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi beragama, dengan kasus pernikahan beda agama. Orang yang menolak pernikahan beda agama dicap sebagai tidak toleran, tidak pluralis, tidak berwawasan multikultural, dan sebagainya. Saat ini bermunculan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang membuat laporan tentang kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia.

Sesuai dengan panduan al-Quran (49:6), maka orang Muslim diajar untuk bersika kritis, tidak bersikap apriori, asal tolak atau asal terima saja. Telitilah informasi itu. Darimana sumbernya, dan bagaimana kebenaran logika dan argumentasi yang digunakannya.  Jika memang yang membawa berita adalah kaum fasik, maka berhati-hatilah!

Satu contoh lain dari analisis yang keliru dilakukan oleh Setara Institute dalam memandang konsep kerukunan beragama dan kaitannya dengan peran kelompok fundamentalis. Kelompok yang mengusung jargon “Institute for Democracy and Peace”  ini – dalam buku terbitannya yang berjudul Wajah Para ‘Pembela’ Islam, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010), menyimpulkan bahwa kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.

“Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.” (hal. iv).

Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei kelompok ini di Jabodetabek, menunjukkan angka, 84,13 persen masyarakat tidak suka akan pernikahan beda agama. Lalu disimpulkan: “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.” (hal. 65).

Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. (hal. 66). Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi. Terhadap fenomena ini, disimpulkan: “Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.” (hal. 67).

Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya AShmadiyah dibubarkan oleh pemerintah. Lalu dibuatlah komentar: “Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh  sama maknanya dengan sikap intoleran.” (hal. 75).

De-Islamisasi bahasa 

Pakar sejarah dan linguistic, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan bahaya dari sebuah proses yang disebut “de-Islamization of language”. Bahasa adalah alat untuk memahami Islam. Dulu, saat Islam masuk dan menyebar di wilayah Nusantara, bahasa Melayu menjadi alat yang efektif, setelah melalui proses Islamisasi. Bahasa yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Nusantara, kemudian diperkaya dengan “istilah-istilah kunci” dalam Islam, seperti Allah, adil, taqwa, hikmah, ilmu, akal, fikir, dan sebagainya. Dengan istilah-istilah itu, maka seseorang menjadi mudah memahami konsep-konsep pokok dalam Islam.

Proses de-Islamisasi bahasa Melayu-Indonesia kini terus berlangsung sejalan dengan proses westernisasi. Istilah-istilah “toleran”, “kerukunan”, “radikal”, dimasukkan ke dalam kosa kata bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Orang tua yang tidak mau merestui pernikahan anaknya dengan orang yang berbeda agama dicap tidak toleran. Begitu juga orang tua yang tidak menerima anak atau anggota keluarga yang berpindah agama.

Tentu saja, dalam pandangan Islam, apa yang dilakukan oleh lembaga survei semacam itu jelas sangat keliru.  Lembaga ini telah mengaburkan dan merusak makna toleransi. Orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran agamanya diberi cap intoleran dan radikal. Ini juga suatu kezaliman. Lebih disayangkan juga, bahwa di antara tokoh penting  yang menyebarkan konsep “kesetaraan” dan toleran yang keliru itu adalah Muslim.

Kaum Muslim secara umum tentu akan menolak konsep toleransi semacam itu. Dalam artikelnya di Jurnal Islamia Republika (Kamis, 15/12/2011) ulama muda NU Muhammad Idrus Ramli, menulis beberapa rambu-rambu dalam bertoleransi. Menurut Gus Idrus, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim. Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.

Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Tentang Doa bersama Lintas Agama, Idrus menulis, bahwa dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin.  Padahal, karakter rahmatan lil-‘alamin, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang shaleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.

Ada dua pendapat di kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’. Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan danmakruh menghadirkan non-Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka itu tidak berhak dilarang.

Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’  ditujukan untuk memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.

Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa “Doa Bersama Antar Umat Beragama” hukumnya haram. Diantara dalil yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: “Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat:  Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). (Wallahu a’lam).*

Kontribusi : Bang Adian