Iman atau Kafir? (Membantah Argumentasi Bodoh ala Liberal )

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat kebajikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Al-Maidah, 69-

Underground Tauhid—sudah hafal, ayat di atas seringkali dijadikan bulan-bulanan. Menjadi bulan-bulanan orang-orang Liberal untuk turut “memasukkan” golongan non-muslim ke dalam Surga, selama, mereka beramal shalih, mereka berbuat kebajikan.

Kecil saya dulu menjadi sangat sederhana. Saya bertanya-tanya, jika orang Kristen menyumbang atau membangun masjid dan kemudian dimanfaatkan oleh umat Muslim, masak dia nanti tidak masuk Surga?

“Mana keadilan Tuhan?”

Coba bayangkan, usia SD saya merasa galau dan “mempertanyakan” keadilan Tuhan. Ini gila! Gila dalam arti yang sebenarnya.

Kelak ketika saya besar, ketika sudah mengerti bahwa memberikan kado buku agama pada teman perempuan saya adalah taktik busuk menyatakan cinta (saat SMA), barulah saya mendapat jawaban atas kegalauan lama itu. Menariknya, jika waktu SD saya bertanya dengan pertanyaan kelas SMA, maka ketika SMA saya mendapatkan jawaban rasa SD.

Ternyata analogi jawabannya sederhana: sekencang-kencangnya sprint seseorang, jika kemudian ia ‘nyolonong’ dalam perlombaan lari, dan menang, ia tidak sah menjadi juara. Mengapa? Sebab ia bukan peserta, ia tidak mendaftar sebelumnya dan karenanya syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tidak ada.

Anda tentu sudah menangkap maksud saya. Ya, Surga hanya berhak diberikan kepada para “peserta”. Hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang telah memenuhi kriteria syarat: Kalimat Syahadat.

“Barangsiapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad)

***

Tetapi adalah runyam, jika segala persoalan yang sederhana –seperti kasus di atas misalnya- dihadapkan dengan sikap kritis yang membuta, suka mencari-cari gara-gara. Saya termasuk orang yang tak percaya bahwa sikap kritis selalu berarti usaha pengungkapan kebenaran, sebab sering, kritis justru dijadikan alat untuk menyatakan kebencian dan pembangkangan, atau sebagai cara untuk menunjukkan bahwa ia tampak lebih berpengetahuan, dan kemudian untuk merendahkan. Karenanya di sini saya tandaskan bahwa penerimaan-penolakan, erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan. Tak selalu sesuai dengan apa yang seseorang ketahui tentang kebenaran.

Iblis mengerti mana iman mana kafir, mucikari gang Dolly tahu apa yang dilakukannya benar atau salah, maling sandal jamaah tarawih tak perlu digurui mana baik mana buruk, pejabat koruptor tak perlu lagi dikhotbahi mana mulia mana brengsek.

Teman-teman di kelas saya juga tergeleng-geleng mengapa Karen Armstrong, orientalis yang cukup “lurus” berkomentar tentang Islam, tidak juga memeluk agama Islam. Jauh sebelum Karen Armstrong menuliskan The History of God dan berusaha adil dalam Holly War­-nya, kisah lama yang sering membuat saya trenyuh adalah kafirnya seorang paman bernama Abu Thalib, padahal beliau merupakan salah satu zirah bagi dakwah Nabi Muhammad Saw., hingga membuat Rasulullah Saw. mengucur air mata saat wafatnya.

Kita tidak menafikan, orang-orang Jahiliyah bukan berarti manusia dungu yang tak berilmu. Kitapun tidak memungkiri bahwa saat ini, menjamur kaum intelektual yang berjubel di kepalanya ilmu.

Tetapi ilmu, apa gunanya tanpa iman?

Saya berani bertaruh, banyak di antara kita –aktivispun-, tertinggal jauh pengetahuan Islam kita disandingkan dengan orientalis. Hanya saja, seperti yang dipaparkan oleh Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Dengan pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekularis maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial. Kajian-kajian dalam syari’at tidak berkaitan dengan akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlak. Demikian pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an.”

Lain hal, Muslim manapun tahu Allah Maha-Benar, ayat-ayat-Nya benar, aturan-aturan-Nya benar, tetapi memang, tidak semua orang berselera dengan kebenaran. Ini soal mentalitas dan kejiwaan. Sehingga yang ada tinggal pembenaran untuk bersikap ingkar. Maka hukum tandingan(thaghut)pun segera digelar. Asy-Syahid Sayyid Quthb menuturkan, “Hanya sedikit manusia dalam masa tertentu yang mengingkari prinsip ketuhanan dan tidak mengakui eksistensi Allah, akan tetapi kebanyakan mereka yang mengakui, keliru dalam pengetahuan mereka mengenai hakikat Tuhan yang Haq. Bahkan mereka juga menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain. Ada kalanya, mereka menyekutukan-Nya dalam keyakinan dan peribadatan, adakalanya dalam hal kedaulatan dan ketundukan.”

Sementara itu di kalangan aktivis dakwah, barangkali yang memiriskan adalah yang –na’udzubillah-berilmu namun sukar berendah-hati. Ada yang ringan melesatkan nasehat namun berat dinasehati. Ada yang tak mampu lagi membedakan antara bernasehat dengan memperolok/menyakiti. Ada juga yang lebih gemar beradu nalar tinimbang memperbanyak kalimat istighfar. Ada yang berapi-api membicarakan prestasi jamaahnya yang, ironisnya, parau ketika disuruh mengingat prestasi amalnya sendiri. Amal jamaahnya baik, tetapi amal pribadinya buruk. Padahal Allah menghisab amal individu kita, bukan amal jamaah dakwah kita.

Akhirnya orientasi seorang muslim harus diperjelas bahwa bukan saja untuk memupuk dan menumpuk intelektualitas pengetahuan, tetapi juga untuk memperbanyak amal kebajikan. Adalah Ushairim bin Abdil Asyhal yang mati syahid di Perang Uhud, dinyatakan Nabi masuk Surga padahal ia sama sekali belum pernah shalat dan puasa, belum pula mengenal berdebatan aqidah salaf dan khalaf. Kemudian sampai saat inipun mata saya masih terasa sembab setiap mengingat tetangga saya, seorang mantan gembong preman, yang tak banyak berpengetahuan tentang Islam, namun ia tersenyum saat sebutir peluru menembus dadanya, mengantarkan pada syahidnya –insya Allah-. He used to be called,’ The Smiling Bomber’.

Maka satu hal penting yang perlu kita tekankan, bahwa tahu kebenaran tidak menjamin seseorang lantas menjadi benar -jika dalam dirinya tidak memiliki kesadaran iman yang membuahkan mentalitas ketaatan-. Semoga Ramadhan ini menjadikan kita senantiasa memiliki kesadaran, sadar untuk menjadi manusia pembelajar. WaLlahu a’lam. []

_______________________

Sekadar keterangan:

QS. Al-Baqarah: 69, turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Farisi r.a berkenaan nasib mendiang mantan para sahabatnya yang masih beragama Nasrani. Bahwa kaum Nasrani yang meninggal sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw., selamat selama mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir serta beramal shalih. Namun, kata Ibnu Katsir, setelah diutus Nabi Muhammad Saw. selaku pembawa syari’at kepada semua manusia dan jin, maka suatu amalan tidak dinilai sebagai amal shalih, hingga amal tersebut selaras dengan syari’at beliau Saw..

 

Oleh : Ahsan Hakim