Logika Rasa Takut Neraka (Tanggapan untuk status di fanpage HARK! IT’S A CRAWLING TAR-TAR tentang penjelasan lagu “Kartu Garansi Setrika di Neraka”)

visualisasi nerakaUlasan sedikit tentang lagu kita yang berjudul ” Kartu Garansi Setrika Di Neraka “

Masih inget komik di tukang jajanan anak SD berjudul “Neraka”? mungkin semua pernah melihatnya. Kemaren-kemaren saya teringat kembali oleh komik ini ketika kawan saya membongkar-bongkarbenda-benda memorabilia masa lalunya. Ternyata dia masih menyimpan salah satu versi dari komik ini di arsip pribadinya.Saya pikir komik ini udah lama gak beredar lagi, tapi ketika saya cek ke sekolah dasar deket rumah saya, masih banyak dijual. Saya pun beli satu untuk melihat isi dari komik itu. Ternyata tak jauh beda dari versi komik yang kawan saya miliki. Walaupun ada revisi judul supaya agak sedikit ‘menjual’ mungkin. Kali ini namanya “Vonis Neraka”.

Baru sadar, ternyata betapa ‘morbid’ nya penggambaran neraka dalam komik itu. Walaupun di sebut di situ kalau ilustrasi yang dibikin adalah berdasarkan rangkuman ayat-ayat dalam kitab suci yang membicarakan neraka ,tetapi saya pikir pembenaran akan deskripsi sebuah sistem pembalasan di hari nanti (bagi mereka yang percaya) ini tidak bisa kita acuhkan. Mungkin subtil efek psikologis dari komik seperti ini, tapi yang bermasalah bagi saya adalah ketika sebuah kepercayaan menjadi sistem kredo teistik atau religi yang berbasis pada ketakutan. “wah, saya gak mau ngelakuin ini karena nanti punggung saya disetrika tanpa hentinya di neraka”; “saya harus sembahyang karena takut direbus dalam air panas menggolak bara di neraka kalau enggak”. Jika memang ritual merupakan hal yang baik untuknya, kenapa gak melakukannya karena dia suka, bukan karena takut? Saya pikir setiap orang bisa membuat keputusan akan hidupnya tanpa harus selalu dihantui ketakutan teologis. Jika pilihan yang dia ambil akan menguntungkannya, silahkan ambil, jika tidak ya tak usah disentuh

SUBCHAOSZINE—Tulisan pendek diatas adalah status band D-beat asal Bandung HARK! IT’S A CRAWLING TAR-TAR pada 1 Juli 2015 lalu. Sejujurnya, tulisan itu membuat saya tersenyum setelah membacanya. Sudah lama ingin saya menuliskan komentar di kolom komentar dibawahnya, namun setelah saya pikir-pikir lagi, sepertinya lebih baik dijadikan tulisan pendek saja.

Tebakan saya, status ini dibuat oleh sang vokalis yang selama ini terlihat lebih banyak berpropaganda daripada personel lainnya.[1] Dalam tulisan itu, dia mengomentari komik neraka yang sudah puluhan tahun beredar di Indonesia dengan visualisasi-visualisasi yang menurut dia berlebihan dan tidak seharusnya agama menakut-nakuti penganutnya dengan siksaaan semacam itu. Bagi sang vokalis itu, jika suatu ajaran agama itu dianggap baik biarlah seseorang melakukannya karena suka, bukan karena takut.

Ok, itulah point yang akan saya komentari.

Sebelumnya, saya ingin menjelaskan tentang apa gunanya rasa takut.

Perlukah rasa takut itu? Jelas sangat penting! Karena rasa takut bisa membuat kita berhati-hati untuk tidak melakukan sesuatu yang ‘membahayakan’ atau yang ‘tidak mengenakkan’. Seseorang sangat butuh diberitahu tentang apa yang akan terjadi kemudian jika dia melakukan sesuatu yang beresiko negatif. “Jangan merokok, bisa bikin impoten lho”, “Jangan berzina, bisa kena penyakit kelamin lho”, bahkan anak kecil pun demikian. Tidak jarang kita mengajarkan logika untuk anak-anak agar dia tahu hukum sebab akibat. “Jangan makan jajan sembarangan, nanti sakit perut lho.”

Begitu pula dengan agama, Allah SWT juga “menakuti-nakuti” manusia dengan ancaman siksaan neraka. Untuk apa? Agar kita menghindari perbuatan maksiat yang membawa keburukan buat diri si pelakunya sendiri.

Allah SWT menciptakan banyak ketakutan. Contohnya takut kepada datangnya kematian. Ada orang yang tidak takut terhadap dosa, tetapi takut kepada mati. Takut mati itu baik, karena bisa membuat kita memperbanyak amal. Jika suatu saat kita melakukan perjalanan, kita harus membayangkan siapa tahu kita meninggal ketika berada dalam kendaraan yang kita naiki. Ketakutan itu membuat kita ingin kepada Allah Swt. Akhirnya kita berusaha untuk berdzikir, supaya seandainya benar-benar mati diperjalanan, kita bisa mati dalam kondisi berdzikir.

“Tapi buat apa ditakut-takuti? Biar saja, kalau memang mendapatkan resiko negatif dari perbuatannya sendiri kan itu urusan dia?”

Hehe,… pertanyaan seperti diatas pasti ada. Lha emangnya kita bisa balik-kucing ke dunia kalau sudah kadung masuk neraka?

Kalau anak kecil ditakut-takuti dengan sakit perut agar tidak jajan sembarangan kemudian dilanggar, nggak jadi masalah. Karena sakit perut sekali bisa jadi pelajaran berharga buat dia. Berikutnya, dia bisa tidak mengulanginya lagi karena kedepan masih ada kemungkinan kesempatan untuk menghadapi pilihan serupa. Lha kalo mati dan masuk neraka, apakah bakal ada kesempatan kedua kalinya untuk hidup satu kali lagi agar tidak mengulang kesalahan sebelumnya?

“Tapi kan nggak enak kalau kita beragama dengan suasana mencekam seperti itu terus?”

Benar! Maka dari itu, alhamdulillah, Allah Swt tidak hanya menakut-nakuti saja, tapi juga memberikan rasa harap (raja’) untuk kita. Raja’ adalah harapan yang selalu dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah SWT; harapan agar amal ibadahnya diterima, harapan agar terhindar dari perbuatan yang dimurkai Allah, dan harapan agar selalu berada dalam ridha-Nya.

Sikap harap kepada Allah akan mendatangkan ketenangan dan optimisme dalam hidup. Bagaimana tidak, Allah adalah pemilik segala-galanya. Ia Mahatahu apa yang terbaik bagi kita. Semua tindakan-Nya teramat tepat, tidak mungkin salah. Semakin kuat harapan kita pada Allah, akan semakin tenteram pula hidup seseorang.

Kita harus menempatkan sikap raja’ (harap) dan khauf (takut) ini dalam keadaan seimbang dan proporsional. Kalau terlalu besar rasa harap, dengan mengabaikan rasa takut, seseorang akan cenderung menyepelekan amal.[2] Sebaliknya, bila terlalu banyak takut dengan mengabaikan harapan, kita akan cenderung fatalis, berputus asa, dan hilangnya optimisme dalam diri.

Nah, khusus untuk komentar saya kepada komik neraka itu. Bahwa saya sendiri pun tidak setuju dengan penggambaran neraka seperti itu. Karena dalam Islam dilarang keras untuk menggambarkan neraka secara visual karena apa Allah Swt ciptakan secara ghaib itu hanya Allah sendiri yang tahu persisnya. Manusia hanya mengira-ngira saja. Tidak mungkin sama atau cuma sekedar mirip.

Banyak ayat dan hadits yang menerangkan bahwa keadaan surga dan neraka nanti adalah sesuatu yang tidak ada satupun diantara kita yang bisa membayangkannya dan tidak pernah terlihat oleh mata kita. Apalagi menggambarkannya dalam bentuk visual?

Tapi yang harus kita tahu, bahwa sesadis-sadisnya gambaran manusia tentang neraka itu bakal tidak seberapa. Karena neraka yang sesungguhnya PASTI jauh lebih menyeramkan dari itu!*[]

———————————–

[1] Dengan tulisan ini, saya doakan agar sang vokalis bisa bertobat dan membuka diri dengan hidayah Allah Swt.

[2] Bukannya saya berprasangka buruk, orang-orang yang nggak suka ditakut-takuti dengan siksa neraka begini biasanya adalah orang-orang yang nggak banyak juga amal ibadahnya.

Iman atau Kafir? (Membantah Argumentasi Bodoh ala Liberal )

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat kebajikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Al-Maidah, 69-

Underground Tauhid—sudah hafal, ayat di atas seringkali dijadikan bulan-bulanan. Menjadi bulan-bulanan orang-orang Liberal untuk turut “memasukkan” golongan non-muslim ke dalam Surga, selama, mereka beramal shalih, mereka berbuat kebajikan.

Kecil saya dulu menjadi sangat sederhana. Saya bertanya-tanya, jika orang Kristen menyumbang atau membangun masjid dan kemudian dimanfaatkan oleh umat Muslim, masak dia nanti tidak masuk Surga?

“Mana keadilan Tuhan?”

Coba bayangkan, usia SD saya merasa galau dan “mempertanyakan” keadilan Tuhan. Ini gila! Gila dalam arti yang sebenarnya.

Kelak ketika saya besar, ketika sudah mengerti bahwa memberikan kado buku agama pada teman perempuan saya adalah taktik busuk menyatakan cinta (saat SMA), barulah saya mendapat jawaban atas kegalauan lama itu. Menariknya, jika waktu SD saya bertanya dengan pertanyaan kelas SMA, maka ketika SMA saya mendapatkan jawaban rasa SD.

Ternyata analogi jawabannya sederhana: sekencang-kencangnya sprint seseorang, jika kemudian ia ‘nyolonong’ dalam perlombaan lari, dan menang, ia tidak sah menjadi juara. Mengapa? Sebab ia bukan peserta, ia tidak mendaftar sebelumnya dan karenanya syarat-syarat untuk mengikuti perlombaan tidak ada.

Anda tentu sudah menangkap maksud saya. Ya, Surga hanya berhak diberikan kepada para “peserta”. Hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang telah memenuhi kriteria syarat: Kalimat Syahadat.

“Barangsiapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad)

***

Tetapi adalah runyam, jika segala persoalan yang sederhana –seperti kasus di atas misalnya- dihadapkan dengan sikap kritis yang membuta, suka mencari-cari gara-gara. Saya termasuk orang yang tak percaya bahwa sikap kritis selalu berarti usaha pengungkapan kebenaran, sebab sering, kritis justru dijadikan alat untuk menyatakan kebencian dan pembangkangan, atau sebagai cara untuk menunjukkan bahwa ia tampak lebih berpengetahuan, dan kemudian untuk merendahkan. Karenanya di sini saya tandaskan bahwa penerimaan-penolakan, erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan. Tak selalu sesuai dengan apa yang seseorang ketahui tentang kebenaran.

Iblis mengerti mana iman mana kafir, mucikari gang Dolly tahu apa yang dilakukannya benar atau salah, maling sandal jamaah tarawih tak perlu digurui mana baik mana buruk, pejabat koruptor tak perlu lagi dikhotbahi mana mulia mana brengsek.

Teman-teman di kelas saya juga tergeleng-geleng mengapa Karen Armstrong, orientalis yang cukup “lurus” berkomentar tentang Islam, tidak juga memeluk agama Islam. Jauh sebelum Karen Armstrong menuliskan The History of God dan berusaha adil dalam Holly War­-nya, kisah lama yang sering membuat saya trenyuh adalah kafirnya seorang paman bernama Abu Thalib, padahal beliau merupakan salah satu zirah bagi dakwah Nabi Muhammad Saw., hingga membuat Rasulullah Saw. mengucur air mata saat wafatnya.

Kita tidak menafikan, orang-orang Jahiliyah bukan berarti manusia dungu yang tak berilmu. Kitapun tidak memungkiri bahwa saat ini, menjamur kaum intelektual yang berjubel di kepalanya ilmu.

Tetapi ilmu, apa gunanya tanpa iman?

Saya berani bertaruh, banyak di antara kita –aktivispun-, tertinggal jauh pengetahuan Islam kita disandingkan dengan orientalis. Hanya saja, seperti yang dipaparkan oleh Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Dengan pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekularis maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial. Kajian-kajian dalam syari’at tidak berkaitan dengan akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlak. Demikian pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an.”

Lain hal, Muslim manapun tahu Allah Maha-Benar, ayat-ayat-Nya benar, aturan-aturan-Nya benar, tetapi memang, tidak semua orang berselera dengan kebenaran. Ini soal mentalitas dan kejiwaan. Sehingga yang ada tinggal pembenaran untuk bersikap ingkar. Maka hukum tandingan(thaghut)pun segera digelar. Asy-Syahid Sayyid Quthb menuturkan, “Hanya sedikit manusia dalam masa tertentu yang mengingkari prinsip ketuhanan dan tidak mengakui eksistensi Allah, akan tetapi kebanyakan mereka yang mengakui, keliru dalam pengetahuan mereka mengenai hakikat Tuhan yang Haq. Bahkan mereka juga menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain. Ada kalanya, mereka menyekutukan-Nya dalam keyakinan dan peribadatan, adakalanya dalam hal kedaulatan dan ketundukan.”

Sementara itu di kalangan aktivis dakwah, barangkali yang memiriskan adalah yang –na’udzubillah-berilmu namun sukar berendah-hati. Ada yang ringan melesatkan nasehat namun berat dinasehati. Ada yang tak mampu lagi membedakan antara bernasehat dengan memperolok/menyakiti. Ada juga yang lebih gemar beradu nalar tinimbang memperbanyak kalimat istighfar. Ada yang berapi-api membicarakan prestasi jamaahnya yang, ironisnya, parau ketika disuruh mengingat prestasi amalnya sendiri. Amal jamaahnya baik, tetapi amal pribadinya buruk. Padahal Allah menghisab amal individu kita, bukan amal jamaah dakwah kita.

Akhirnya orientasi seorang muslim harus diperjelas bahwa bukan saja untuk memupuk dan menumpuk intelektualitas pengetahuan, tetapi juga untuk memperbanyak amal kebajikan. Adalah Ushairim bin Abdil Asyhal yang mati syahid di Perang Uhud, dinyatakan Nabi masuk Surga padahal ia sama sekali belum pernah shalat dan puasa, belum pula mengenal berdebatan aqidah salaf dan khalaf. Kemudian sampai saat inipun mata saya masih terasa sembab setiap mengingat tetangga saya, seorang mantan gembong preman, yang tak banyak berpengetahuan tentang Islam, namun ia tersenyum saat sebutir peluru menembus dadanya, mengantarkan pada syahidnya –insya Allah-. He used to be called,’ The Smiling Bomber’.

Maka satu hal penting yang perlu kita tekankan, bahwa tahu kebenaran tidak menjamin seseorang lantas menjadi benar -jika dalam dirinya tidak memiliki kesadaran iman yang membuahkan mentalitas ketaatan-. Semoga Ramadhan ini menjadikan kita senantiasa memiliki kesadaran, sadar untuk menjadi manusia pembelajar. WaLlahu a’lam. []

_______________________

Sekadar keterangan:

QS. Al-Baqarah: 69, turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Farisi r.a berkenaan nasib mendiang mantan para sahabatnya yang masih beragama Nasrani. Bahwa kaum Nasrani yang meninggal sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw., selamat selama mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir serta beramal shalih. Namun, kata Ibnu Katsir, setelah diutus Nabi Muhammad Saw. selaku pembawa syari’at kepada semua manusia dan jin, maka suatu amalan tidak dinilai sebagai amal shalih, hingga amal tersebut selaras dengan syari’at beliau Saw..

 

Oleh : Ahsan Hakim